Aisyah ke Kebun Binatang
Itu belum seberapa dibanding ketika dia terus berteriak “au aa au aa”, menirukan suara para primata yang bersahutan seperti koor para anggota DPR.
Minggu lalu kali pertama Aisyah ke kebun binatang. Ia sangat ingin lihat jerapah dan gajah. Ternyata, ia tak terlalu tertarik saat melihat keduanya. Justru primata yang membuatnya kegirangan, tanya ini dan itu, berlarian ke sana ke mari.
Bocah dua tahun itu begitu takjub ketika melihat seekor gorilla bernama Kihi yang berusia hampir sama seperti ayahnya. Lalu kegirangan melihat monyet bernama Oak yang berlompatan dari satu pohon ke pohon lain. Lagi penasaran dengan monyet lain bernama Boti yang terus bersembunyi di balik batu, seperti takut menyapa manusia menjadikannya tontonan berbayar.
Itu belum seberapa dibanding ketika dia terus berteriak “au aa au aa”, menirukan suara para primata yang bersahutan seperti koor para anggota DPR meneriakkan kata setuju pada satu beleid yang selaras dengan kepentingan mereka, sebagaimana pula mereka kompak teriak tolak pada beleid yang sesuai kepentingan rakyat.
Aisyah tentu belum tahu apa itu DPR. Tidak juga para anggotanya. Apalagi politik. Ia hanya tahu, bahwa primata makhluk Tuhan juga. Sering ia tonton di YouTube. Di serial dokumenter, maupun kartun kesayangannya.
Bahwa dulu kala di negeri nun jauh ada seorang ilmuwan bernama Frans De Waal, yang serius meneliti perilaku komunitas primata di Arnhem Zoo, dan menyimpulkan dalam bukunya “Chimpanzee Politics” bahwa pembentukan koalisi dan power struggle di antara mereka adalah politis, pun tentu saja bocah itu tak butuh untuk diberitahu.
Sial saja bagi saya, ayahnya, yang menemukan catatan kaki tentang hasil penelitan De Waal dalam buku “Strategy” karya Lawrence Friedman sebelum mengajak Aisyah ke kebun binatang.
Friedman menggunakan penelitian De Waal untuk menjustifikasi muasal manusia berstrategi: perilaku nenek moyang yang tidak lain adalah primata. Menurutnya, ada tiga elemen umum strategi manusia yang tidak berubah sepanjang waktu: mengecoh, membentuk koalisi, dan instrumen kekerasan. Persis yang bisa ditemukan pada kawanan primata.
Suara adalah cara paling tampak dari primata saat mengatur strategi. Melalui suara tertentu, mereka mengomunikasikan kawanan untun bersiap melakukan sesuatu. Seperti memberitahu ada ancaman dari kawanan lain.
Sebagaimana De Waal mencatat, kawanan primata akan berkumpul atau berpencar saat mendengar suara tertentu dari pimpinan kawanannya. Tergantung situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Tapi, terutama bagi primata perempuan dan anak-anak, setiap suara berarti pertanda untuk saling berdekatan.
Jika Aisyah menganggap teriakan para primata sebagai suara yang seru ditiru, maka saya justru penasaran apa yang sedang mereka komunikasikan.
Walaupun, saya yakin teriakan mereka bukan kode perang. Mereka sudah bertahun-tahun hidup bersama di satu kandang. Sebagaimana kata De Waal, primata cenderung menghindari konflik. Apalagi bagi mereka yang telah didomestifikasi menahun di satu ruang. Konflik hanya akan merugikan mereka.
Atau jangan-jangan kami, para pengunjung, yang mereka anggap ancaman? Ini lebih masuk akal. Kebun binatang di musim liburan penuh manusia dengan beragam kelakuan. Sangat mungkin tindakan satu, dua orang, mereka anggap sebagai ancaman. Mungkin juga itu tindakan saya.
Untuk segala kemungkinan yang timbul dari interaksi antara manusia dan hewan di kebun binatang itulah, Bob Mullan dan Garry Marvin dalam Zoo Culture sampai pada satu kritik:
“In the zoo the animals are primarily presented for visual consumption. It is not the animal itself but the image of the animal that is consumed, an image manipulated to convey particular messages and to reinforce human superiority over nature.”
Mereka pun memandang bahwa edukasi lewat kebun binatang sekadar omong kosong. Tidak merepresentasikan kehidupan para hewan sesungguhnya. Penuh suntingan untuk kebutuhan visual hiburan manusia belaka.
Aisyah jelas sangat terhibur hari itu, dan bikin saya dan ibunya ikut senang. Sampai di rumah, ia bercerita pengalamannya pada kakek dan neneknya, yang ikut senang pula.
“Jeyapah tinggi anet, segini,” kata Aisyah sambil menunjuk langit-langit.
“Gajah besal,” katanya kemudian.
“Au aa au aa gitu monyetnya,” teriaknya sambil mengulurkan fotonya di kebun binatang kepada kakeknya.
“Kenapa monyetnya gitu, Syah?” Tanya kakeknya.
“Lapel kali, kayak anaknya om badut di jalan,” jawab Aisyah.
Hari yang ringkas. Kenangan yang mungkin bagi Aisyah tak akan pernah pungkas.